Agar lebih nyambung, ada baiknya membaca part keduanya terlebih dahulu. Silahkan klik disini.
Hari berlalu melesat bagai peluru. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan semua berlalu dengan sangat cepat. Hubungan aku dan Cindy kembali seperti saat kami berusia lima. Awalnya, sangat sulit mengajak dia pergi. Namun dengan usaha yang tidak kenal menyerah akhirnya aku berhasil membawanya keluar. Mengajaknya bersenang-senang, berharap dia bisa melupakan sedikit saja kejadian itu. Kejadian yang membuat luka yang sangat dalam di hatinya.
Hari berlalu melesat bagai peluru. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan semua berlalu dengan sangat cepat. Hubungan aku dan Cindy kembali seperti saat kami berusia lima. Awalnya, sangat sulit mengajak dia pergi. Namun dengan usaha yang tidak kenal menyerah akhirnya aku berhasil membawanya keluar. Mengajaknya bersenang-senang, berharap dia bisa melupakan sedikit saja kejadian itu. Kejadian yang membuat luka yang sangat dalam di hatinya.
Bulan keenam setelah kepergian lelaki itu, Cindy akhirnya bisa tertawa kembali .Raut wajahnya yang menjadi kusut karena kesedihan itu akhirnya kembali terlihat bersinar. Lihat? Bahkan sinar bulan yang biasa menerangi gelapnya malam tidak lebih terang dari matanya yang seolah memancarkan cahaya.
Genap setahun setelah kejadian itu, Cindy sudah kembali normal seperti sedia kala. Tak ada lagi sisa-sisa kesedihan itu. Semua seolah terbilas oleh ombak besar di laut saat kami pergi ke pantai untuk berselancar.
Hari-hari indah itu akhirnya kembali .Senyum manisnya, tatapan matanya yang hangat, sikap manjanya yang membuat (mungkin) semua orang gemas, dan segala hal yang ada pada dirinya mampu membuat semua laki-laki, terutama aku, jatuh cinta. Cinta? Entahlah, aku belum mengerti apa itu cinta.
Malam itu aku duduk di lantai atas, di atap bahkan. Memandangi bulan purnama yang sempurna bulat dan formasi bintang gemintang yang sedikit tertutup awan mendung. Apakah akan turun hujan? Entahlah. Setidaknya rintikan air yang jatuh dari awan tidak akan menggangguku malam ini, bahkan membuatku semakin nyaman. Menelusuri masa lalu, memilah kenangan-kenangan, mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggelayut di pikiranku, "perasaan ini namanya apa?"
Air hujan mulai jatuh membungkus tiap jengkal bumi. Pelan saja, tapi sukses membasahi seluruh jalan. Seperti hati ini yang seolah menangis. Pelan saja, tapi membasahi seluruh hati. Membuatnya lembek selembek tanah yang terkena hujan. Sesak. Aku kembali mengingat masa-masa itu, mencuri buah mangga –walau hanya dia yang memakannya karena aku tidak suka- di pohon milik komplek seberang. Bersepeda mengelilingi komplek sampai dikejar anjing. Berenang saat banjir. Berkejar-kejaran di tengah hujan deras. Ah semua itu membuat hatiku menganga. Aku yang sudah mengenalnya sejak rambutnya masih bondol seperti laki-laki ternyata hanya sahabat yang entah sampai kapan akan seperti itu.
Rintikan hujan mulai mereda, meninggalkan butir-butir yang hendak turun dari daun, tapi hujan di mataku justru mulai deras. Apa yang terjadi? Kenapa aku harus merasakan rasa sakit seperti ini? Perasaan ini? Perasaan ini namanya apa? Cinta? Cinta itu apa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat dadaku semakin sesak.
Cindy, apakah dia merasakan apa yang aku rasakan? Apakah diam-diam dia juga merindukan aku seperti aku yang diam-diam menyebut namanya disetiap doaku? Apakah rasa ini akan dibalas dengan pantas? Atau aku hanya akan jadi sahabat? Entahlah. Aku tidak mengharapkan apapun. Aku hanya ingin dia bahagia saat ini. Melupakan kesedihan yang setahun lalu mengungkung hidupnya.
Malam semakin larut. Lelah, aku memutuskan untuk turun dan masuk ke dalam kamar. Merebahkan tubuh, menyebut namanya dalam doa. Dan tanpa sempat berganti pakaian, aku tertidur dalam keadaan basah. Bekas hujan tadi. Ngomong-ngomong, perkenalkan, namaku Surya Adi Pratama. Lelaki yang entah sampai kapan tidak akan mengerti tentang perasaan dalam hatinya. Yang selalu bertanya-tanya "perasaan ini namanya apa?". Berharap esok lusa akan menemukan jawaban. Nihil. Bahkan sampai saat ini, aku masih tidak tau apa itu.
Alarm berbunyi nyaring menandakan hari baru telah dimulai. Aku terbangun dalam keadaan setengah sadar. Masih mengantuk. Namun aku tak punya waktu untuk terus bersantai. Aku harus segera ke toko kue untuk memeriksa keadaan.Setelah itu, menemani Cindy mencari novel, menonton film, dan tentu membuatnya tertawa. Hari-hari berjalan dengan indah. Perasaan ini tumbuh semakin liar. Aku jatuh cinta. Walau aku tak tahu persis apa itu cinta. Dan yang aku lihat, Cindy juga merasakan hal yang sama, cinta.
Alarm berbunyi nyaring menandakan hari baru telah dimulai. Aku terbangun dalam keadaan setengah sadar. Masih mengantuk. Namun aku tak punya waktu untuk terus bersantai. Aku harus segera ke toko kue untuk memeriksa keadaan.Setelah itu, menemani Cindy mencari novel, menonton film, dan tentu membuatnya tertawa. Hari-hari berjalan dengan indah. Perasaan ini tumbuh semakin liar. Aku jatuh cinta. Walau aku tak tahu persis apa itu cinta. Dan yang aku lihat, Cindy juga merasakan hal yang sama, cinta.
Pagi datang lagi, dan kegiatan harus kembali dimulai. Mandi, siap-siap, berangkat ke toko kue, cek keadaan sebentar, menenggak segelas kopi. Menikmati indahnya pagi. Kembali ke toko roti, memberi instruksi, memastikan semua berjalan baik, siap-siap menjemput Cindy.
Jalan macet Jakarta membuatku datang agak terlambat. Cindy yang sudah menunggu sedikit sebal. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang justru membuatku gemas. Setelah pamit ke orang tua Cindy, kami berangkat ke restoran tempat biasa kami menghabiskan malam. Memesan makanan, bertukar cerita, tertawa. Tak terasa malam semakin larut, dan kami seolah kehabisan topik untuk dibahas, membuat suasana sepi. Setelah membayar bill, aku mengajak Cindy ke taman yang sering aku datangi. Tanpa pikir panjang, Cindy mengiyakan dan kami segera pergi.
Malam ini bulan terlihat indah, terlihat mesra bersisian dengan bintang. Pun demikian dengan aku dan Cindy. Kami duduk saling terus bertatatapan. Ditemani cahaya bulan yang menerangi malam. Saling menebak-nebak isi hati masing-masing, terdiam, merekahkan senyum terindah yang kami punya. Aku tahu, walau tanpa sepatah kata apapun, walau malam panjang ini hanya diisi dengan diam, kami saling jatuh dalam perasaan yang sama. Cinta.
Jalan macet Jakarta membuatku datang agak terlambat. Cindy yang sudah menunggu sedikit sebal. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang justru membuatku gemas. Setelah pamit ke orang tua Cindy, kami berangkat ke restoran tempat biasa kami menghabiskan malam. Memesan makanan, bertukar cerita, tertawa. Tak terasa malam semakin larut, dan kami seolah kehabisan topik untuk dibahas, membuat suasana sepi. Setelah membayar bill, aku mengajak Cindy ke taman yang sering aku datangi. Tanpa pikir panjang, Cindy mengiyakan dan kami segera pergi.
Malam ini bulan terlihat indah, terlihat mesra bersisian dengan bintang. Pun demikian dengan aku dan Cindy. Kami duduk saling terus bertatatapan. Ditemani cahaya bulan yang menerangi malam. Saling menebak-nebak isi hati masing-masing, terdiam, merekahkan senyum terindah yang kami punya. Aku tahu, walau tanpa sepatah kata apapun, walau malam panjang ini hanya diisi dengan diam, kami saling jatuh dalam perasaan yang sama. Cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar