Rabu, 15 Agustus 2012

Unrequited Love #3

Pagi ini aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku terbangun sekitar pukul 5 pagi. Aku masih mengumpulkan kesadaranku untuk bangun dan bersiap-siap.

Setelah aku sadar, aku langsung bergegas mandi agar hari ini aku tidak terlambat masuk kelas seperti kemarin. Aku mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Pakaian yang aku kenakan kini sudah rapi. Aku keluar rumah dan pamit pada ibuku untuk segera berangkat sekolah.

"Bu, aku berangkat ya!", kataku sambil menaiki sepeda.
"Iya nak, hati-hati kamu!", jawab ibuku.
"Iya Bu!"

Kali ini aku sampai lebih pagi dari biasanya. Aku sampai pukul 06.15 dan aku tak melihat siapapun di kelas.

"Ah, aku datang terlalu pagi!"

Selang beberapa menit, Leni masuk ke kelas dan aku tersentak ketika dia menyapaku terlebih dahulu.

"Pagi Rian! Tumben udah dateng? Biasanya telat.", Leni menyapaku sambil mengejek.
"Hehe iya nih, tumben aku ga telat.", kataku sambil melempar senyum termanisku.
"Haha dasar kamu Yan."
"Hehe", aku hanya bisa cengengesan. "Tumben kamu menyapaku lebih dulu?"
"Emang ga boleh ya? Kan gapapa sekali-sekali, hehe"
"Iya sih hehe"

Pagi ini aku merasa benar-benar beruntung. Aku sangat bahagia pagi ini. Aku merasa tidak kecewa karna hari ini aku datang terlalu pagi.

15 menit kemudian kelas mulai ramai. Dimas yang baru datang langsung heran melihatku yang sejak tadi senyum-senyum sendiri.

"Kenapa kamu Yan? Kesambet?", Dimas membuyarkan lamunanku. "Eh, tumben kamu ga telat?"
"Nanyanya satu-satu dong Mas!"
"Iya iya, kenapa kamu senyum-senyum gitu? Obatmu abis?", ejek Dimas
"Enak aja kamu! Kamu tau ga, tadi pagi dia nyapa aku duluan loh!", bisikku pada Dimas
"Hah? Serius kamu Yan?"
"Iya Mas!"
"Pantes kamu senyum-senyum begitu"
"Hehe"

Obrolan kami terhenti ketika guru kami masuk ke kelas dan memulai pelajaran.

Fikiranku tak bisa konsentrasi akibat kejadian tadi pagi. Pandanganku tak bisa lepas dari wajahnya. Aku semakin jatuh cinta padanya.

"Teeeeettt", bel istirahat berbunyi. Aku melanjutkan obrolanku dengan Dimas yang tadi sempat terpotong.

"Aku seneng banget Mas hari ini!"
"Iya iya aku ngerti gimana perasaan kamu Yan"
"Ga bakal aku lupain hari ini Mas!"
"Dasar kamu"
"Hehe"
"Udah sana kamu ajak ngobrol"
"Aku malu Mas"
"Udah sana coba dulu!"
"Kamu yakin?"
"Yakin!"
"Oke, aku coba!"

Aku berjalan mendekati Leni. Dia sedang asik bermain hape saat itu.

"Hai Len!", sapaku
"Hai Yan, ada apa?"
"Aku pengen ngobrol aja sama kamu, boleh?"
"Boleh kok"
"Kamu ga ke kantin Len?"
"Enggak ah, lagi males. Kamu sendiri?"
"Aku ga punya uang buat jajan Len, hehe"
"Ohehe, emang kamu ga dikasih uang jajan sama orang tuamu?"
"Buat aku, sekolah itu untuk belajar, bukan untuk jajan. Jadi aku ga terlalu mementingkan uang jajan."
"Wah, kamu bijak juga yah"
"Hehe, makasih Len.", aku tersenyum malu
"Eh, muka kamu merah tuh!"
"Ah masa sih Len? Efek malu kayanya nih hehe"
"Ah kamu malu-malu segala!"
"Hehe"

"Teeeeettt", bel masuk berbunyi dan menghentikan pembicaraan kami.

"Len, aku balik ke tempat dudukku ya, nanti kita sambung lagi!"
"Oke Yan, tulis nomor handphone kamu aja"
"Uhh, aku ga punya handphone Len"
"Oh, yaudah deh"
"Iya hehe"

Aku kembali ke tempat dudukku sambil senym-senyum ga jelas. Dimas langsung bertanya banyak hal yang aku jawab dengan singkat.

Bel pulang berbunyi, kami semua pulang ke rumah masing-masing.

"Leni! Hati-hati ya di jalan hehe", ucapku dari kejauhan
"Iya Yan, makasih ya"

Aku pun kemudian pulang dengan hati berbunga-bunga. Baru kali ini aku merasakan sebahagia ini. Aku merasa seperti cintaku terbalaskan olehnya.

Hari terus berganti, aku dan Leni semakin dekat hingga akhirnya aku berteman dengan Lina, teman sebangku Leni. Mereka bersahabat sejak kelas 1 SMK. Lina berkulit agak kecoklatan, rambutnya ikal, dan bertubuh gempal.

Lama-kelamaan kami makin akrab. Sampai akhirnya aku berani bercerita pada Lina tentang perasaanku terhadap Leni. Aku harap Lina dapat membantuku atau sekedar menyemangatiku.

Setelah Lina tau, dia sangat antusias untuk menjodohkan aku dengan Leni. Aku senang sekali karna sahabat Leni mau membantuku. Kini perjuanganku tidak sendiri. Ada Lina dan Dimas sahabatku yang terus membantu aku mendapatkan Leni.

Perjuangan cintaku terus berlanjut sampai akhirnya aku yang terus mendapat beasiswa di sekolah mampu membeli sebuah handphone yang ku raih hasil menabung. Sekarang aku bisa berkomunikasi sama Leni kapanpun aku mau. Aku lansung berusaha mendapatkan nomor handphone Leni.

Singkat cerita, aku mendapatkan nomor Leni dari Lina. Aku juga meminta nomor Lina agar bisa curhat. Tak lupa, aku juga meminta nomor Dimas untuk selalu menyemangatiku. Lina dan Dimas tak pernah berhenti untuk menyemangati aku, membuat aku semakin terdorong untuk mendapatkan Leni.

Setelah aku mendapatkan nomor Leri, aku terus menyapanya lewat handphone. Terus, terus, dan terus. Aku memberi segala perhatian padanya. Dari hal terkecil hingga hal terbesar. Dari yang tidak penting sampai yang penting.

Kebahagiaanku terus berlanjut sampai akhirnya dia mengenalkan aku pada seorang lelaki yang ia sayangi. Nama lelaki beruntung itu Niko. Leni bercerita padaku bahwa ia mengenal Niko sewaktu PSG. Hampir setiap hari dia menveritakan Niko, Niko, dan Niko.

Kalian tau apa yang aku rasakan ? Rasanya seperti terjatuh dari kapal yang sedang terbang. Sakit. Sampai rasanya aku tak mampu berdiri lagi. Aku terlalu mencintainya. Apa aku memang tak pantas untuk Leni ?

Part selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar