Hujan turun dengan hebat di
sepinya malam, memaksa keheningan berubah kekhawatiran. Kenangan demi kenangan
muncul bersamaan dengan turunnya rintik-rintik hujan. Kejadian-kejadian itu
seolah terulang seperti kaset rusak. Membuka luka lama yang sudah cukup berhasil
aku lupakan.
Jakarta 22 tahun lalu, hujan
turun sangat deras di sepinya malam, gemuruh petir bersahutan satu sama lain
membuat ngeri para penduduk kota. Aku berdiri di depan pintu menunggu dengan
cemas kedua orangtuaku yang masih dalam perjalanan pulang. Jam 8, perutku
bergetar karena lapar, kaki lemas terlalu lama berdiri. Baiklah, lebih baik aku
mengisi perutku dan menunggu di ruang keluarga, menonton acara tv. Satu jam
berlalu, hujan semakin deras, gemuruh petir semakin menakutkan. Aku semakin cemas
menunggu kedua orangtuaku. Otakku penuh dengan dugaan, pikiran buruk dan
berusaha berpikir positif.
Malam semakin larut, pintu
rumah akhirnya di ketuk. Dengan bergegas aku membukakan pintu, menyambut kedua
orangtuaku. Aku berlari menuju pintu depan, bersiap membukakan pintu dengan
riang gembira, hari ini adalah hari istimewa untukku. Tepat hari ini, usiaku
menginjak 15 tahun. Hadiah baru yang dijanjikan ayah sudah menunggu, video game
sepak bola kesukaanku. Aku sudah tak sabar untuk membuka pintu dan melihat
senyum kedua orangtuaku.
Aku sampai di depan pintu, penuh semangat sampai bedebar-debar jantungku. Secara perlahan aku membuka pintu, menunggu kepala ayahku menjulur masuk dan mengagetkanku seperti biasa. Setengah pintu sudah terbuka, tapi ayah belum menjulurkan kepalanya. Apa ayah menyiapkan sesuatu kejutan untukku? Dan akhirnya pintu sempurna terbuka. Tak ada ayah maupun ibu disana.
“Permisi nak, apa benar ini
rumah saudara Rehan?” suara orang itu menyadarkanku.
“Iya pak benar, dia ayahku,
tapi kalau bapak mencari ayah, sayang sekali dia belum pulang.”
“Bukan begitu nak, kami
disini untuk memberitahu sanak keluarga Rehan bahwa beliau baru saja mengalami
kecelakaan maut di persimpangan lampu merah. Mobil ayah dan ibumu saat itu
sedang melaju saat lampu hijau menyala, tapi sayangnya, mobil dari arah lain
menerobos lampu merah dan menabrak mobil yang dikemudikan ayahmu. Kedua
orangtuamu meninggal di tempat.”
“A…a…ap..a?”
“Ya nak, ayah dan ibumu,
keduanya saat ini sedang berada di rumah sakit untuk di otopsi.”
Air mataku tumpah seperti
derasnya hujan malam ini. Suara tangisanku menggelegar seperti dentuman petir.
Orang itu mencoba menenangkanku. Sayang, aku justru semakin sesak. Setengah jam
kemudian, setelah beliau terus mencoba dan gagal, akhirnya aku terdiam. Air
mataku sudah habis, suaraku tak bisa keluar lagi. Aku hanya diam mendengar
beberapa kalimat lagi yang di ucapkan bapak-bapak dengan seragam gagah di
depanku –yang akhirnya menjadi pekerjaanku kelak, seorang polisi.
Sekarang, Bandung. Aku
sedang menghabiskan waktu libur bersama satu-satunya anakku. Karena pekerjaan
ini, aku hanya bisa beberapa hari bertemu dengan anakku. Selama aku bekerja,
aku menitipkan anakku kepada bibinya. Ibunya sudah meninggalkan dia sejak 2
tahun lalu. Usianya saat ini 13 tahun. Siswa berseragam putih biru. Kami
menghabiskan waktu dengan bermain video game. Anakku sangat menyukai permainan
sepak bola, sama denganku, jadilah kami bermain sampai malam datang.
“Kamu memang hebat anakku,
sekarang mari kita makan malam, perut ayah sudah keroncongan.”
“Ah bilang saja ayah takut
kalah lagi.” Anakku balas dengan ejekkan –yang aku tau adalah bercanda.
“Haha, kamu tidak ingat
kalau kita sama kuat? 10 vs 10 ingat.” Aku balas mengejek.
“Baiklah Ayah, mari kita
makan, aku juga sudah lapar.”
Kami berdua meninggalkan
ruang keluarga dengan video game yang masih menyala –pertandingan akan dilanjutkan
usai makan malam.
“Yah.” Jo memulai percakapan
setelah kami selesai makan.
“Iya Jo, ada apa?”
“Aku mau punya sepeda motor
Yah, teman-temanku di sekolah hampir semuanya membawa sepeda motor ke sekolah,
hanya aku yang membawa sepeda butut.”
“Astaga Jo, sepeda itu
adalah peninggalan kakekmu yang paling berharga. Bagaimana mungkin sepeda hebat
itu kamu sebut sepeda butut?”
“Maaf Ayah, aku hanya ingin
punya sepeda motor.”
“Jo anakku, tanpa kamu
mintapun ayah akan membelikannya. Tapi tidak sekarang. Saat usiamu 17, dan kamu
sudah punya SIM, ayah akan membelikanmu sepeda motor untukmu, bahkan yang
paling mahal sekalipun.”
“4 tahun? Lama sekali Yah.”
“Kamu tau kenapa seorang
anak disebut dewasa saat berusia 17 tahun? Karena mereka dianggap bisa
bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan. Ingat, berkendara bukan hanya
tentang kamu hati-hati atau tidak. Mau kamu hati-hati sekalipun, jika
pengendara lain tidak berhati-hati, maka kamu bisa terkena dampaknya. Misalnya,
kamu mengendarai sepeda motormu dengan kecepatan sedang, melaju dengan tenang
dan tidak tergesa-gesa, tapi ada seorang pengendara lain yang terburu-buru. Dia
seenaknya belok tanpa memberi lampu sen, sialnya, kamu ada di sebelah
pengendara tersebut, sepeda motor kalian beradu, dan blam, celakalah kalian.”
“Tapi Yah.”
“Tidak ada tapi anakku, kita
tidak sedang melakukan tawar-menawar. Bagaimana kalau kita lanjutkan
pertandingan kita?” aku coba mengalihkan pembicaraan,
“Baiklah Ayah, mari kita
lihat siapa yang lebih hebat.” Ujar Jo meledek.
Kami melanjutkan
pertandingan hingga larut tiba. Skor masih sama kuat. 10 vs 10 setelah makan
malam. Lelah, aku memutuskan untuk mengakhiri pertandingan dan dilanjutkan esok
hari. Beranjak ke tempat tidur dan merangkai mimpi indah.
Pagi datang, Jo membangunkan
aku karena kami ada janji untuk melakukan jogging di sekitar rumah. Baiklah,
aku berdiri dan bersiap. Mandi? Untuk apa aku mandi kalau nanti berkeringat
lagi. Aku hanya mencuci muka dan menggosok gigi, memakai sepatu dan menyusul Jo
yang sudah berlari lebih dulu. Pagi ini cuara cerah, seolah kebaikan siap
mendatangi. Tapi dugaanku salah, saat sedang asyik berlari, ada anak-anak
seumuran Jo sedang asik memacu sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi,
mobil dari arah lain juga seolah sedang terburu-buru sehingga tepat diperempatan,
di depan aku dan Jo, kedua kendaraan yang sedang melaju kencang itu saling
beradu. Anak itu terpental cukup jauh dari sepeda motornya –meninggal seketika
itu juga. Pengendara mobil terluka parah walau tidak kehilangan nyawa. Jo
terdiam menyaksikan itu semua.
“Lihat Jo? Itulah kenapa
ayah akan membelikanmu sepeda motor di saat yang tepat.”
“Iya Ayah, aku mengerti
sekarang.”
Beberapa saat kemudian mobil
ambulance datang membawa kedua korban. Aku dan Jo memutuskan untuk segera
pulang. Mandi, sarapan, lalu melanjutkan pertandingan.
4 tahun kemudian. Seperti
yang pernah aku janjikan, aku membelikan Jo sepeda motor yang dia inginkan.
Tentunya setelah mengurus SIM C. Kini sepeda butut yang selalu Jo gunakan untuk
berangkat sekolah telah ditinggalkan di garasi. Dibiarkan tergeletak tidak
terurus. Jo lebih sering keluar setelah memiliki sepeda motor.
Akhir pekan, aku
menghabiskan waktu di rumah. Bermain video game kesukaan. Jo tidak di rumah,
dia izin mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Padahal ini adalah hari
yang istimewa untukku. Jadilah aku bermain sendiri. Sore datang, cuaca mendung
menyelimuti Bandung. Aku mulai cemas karena Jo masih belum pulang. Aku berusaha
tenang, melanjutkan game sampai malam. Petir mulai menyambar dimana-mana, hujan
turun sangat deras malam itu, petir bersautan seolah mendendangkan musik kematian.
6 tahun lalu, hujan turun
sangat deras seperti malam ini. Aku dan Jo seperti biasa sedang bermain video
game sepak bola. Sengit, hasil selalu saja seri. Istriku saat itu sedang ada
arisan dengan teman-temannya, padahal ini adalah hari ulang tahunku. Tapi tak
apalah, aku masih bisa menghabiskan waktu dengan anakku. Malam semakin larut,
Jo ikut cemas karena Ibunya belum juga pulang ke rumah. Aku berkali-kali
menelpon istriku, namun tidak kunjung di jawab.
Jam 9, pintu rumah diketuk,
Jo berlari mendahuluiku hendak membukakan pintu. Berharap Ibunya membawa kue
seperti yang mereka rencanakan. Ya, sebenarnya istriku tidak ada arisan hari
ini, tapi dia mencari kue dan kado untukku. Itulah yang diceritakan Jo esok
harinya.
Pintu dibuka, Jo tersentak
karena menemui beberapa orang berseragam sepertiku –polisi- mengabarkan berita
duka. Malam itu, di tengah hujan yang sangat deras, mobil yang dikemudikan
istriku tertabrak mobil lain yang kehilangan kendali. Begitulah cerita rekan
kerjaku. Aku terduduk, bertanya dalam hati “Kenapa di hari yang sama, di hari
ulang tahunku, orang yang sangat berharga harus pergi? Kenapa?” Aku menangis
diikuti Jo yang menangis dengan keras, megalahkan kerasnya suara petir. Hatiku
seolah terbelah dan sebelah hati itu terbang dibawa hujan.
Kenangan itu sempurna
terulang, orangtuaku yang pergi di hari ulangtahunku dan istriku yang juga
pergi di hari yang sama. Kini, hujan itu menghantui pikiranku. Jo? Apakah kamu
juga akan pergi meninggalkan ayah di hari istimewa ini? Sudah cukup ayah merasa
kehilangan, ayah tak sanggup lagi jika harus kehilangan kamu Jo.
Pikiran-pikiran buruk berkeliling di kepalaku. Cemas, gundah, sedih, marah, dan
semua kegelisahan bercampur menjadi satu.
Malam semakin larut, jam 10.
Hujan mulai reda, tapi justru hujan turun dari mataku. Aku tak kuasa menahan
tumpukan kenangan menyakitkan itu, tak bisa aku bayangkan jika hujan kali ini membawa pergi anakku satu-satunya dan meninggalkan aku sendiri. Aku tak kuat menahan semua rasa sakit ini. Hingga akhirnya pintu diketuk.
Aku melangkah gontai menuju pintu. Menghapus sisa-sisa air mata di pipi. Berusaha menepis semua kesedihan. Berharap orang yang mengetuk pintu adalah Jo, anakku. Pintu sudah di depan mata, hujan tinggal menyisakan kenangan. Ku buka pintu perlahan. Tatapan mataku tak kuasa melihat ke depan. Pintu telah sempurna terbuka, sepatu itu, sepatu itu milik Jo, ya tidak salah lagi itu pasti Jo.
"Selamat ulang tahun Ayah" ucap Jo sambil tersenyum, menyodorkan kue ulang tahun.
"Astaga Jo, terimakasih banyak. Kado kali ini sungguh spesial. Ayah sempat cemas dan takut, beberapa kali ayah hubungi tapi tidak tersambung. Ayah sangat khawatir Jo. Tapi kamu pulang membawa kado terindah untuk Ayah. Sungguh terimakasih Jo, ayah sayang kamu." aku memeluk Jo erat -kue yang dibawa Jo sudah diletakkan di meja teras.
"Tapi Ayah, aku hanya membawa sebuah kue, tidak lebih tidak kurang." Jo berkata heran.
"Bagi Ayah, kamu pulang dengan selamat malam ini adalah kado yang sangat luar biasa. Kamu ingat kan? Saat ayah 13 tahun, di hari ulang tahun ayah, kakek dan nenekmu pergi meninggalkan Ayah persis di saat hujan deras menyelimuti kota. Dan saat umur Ayah menginjak 35, Ibumu yang pergi dengan keadaan yang sama. Ayah sangat takut Jo. Maukah kamu berjanji sesuatu untuk Ayah?"
"Ya Ayah, apa itu?"
"Selalu berhati-hati saat mengendarai kendaraan. Baik itu sepeda motor yang saat ini sedang kamu gunakan, ataupun mobil suatu hari nanti. Taati peraturan, jangan pernah menerabas lampu merah, selalu gunakan helm, jangan kebut-kebutan, melawan arus, ugal-ugalan di jalan. Bisakah Jo? Ayah tidak ingin kehilangan orang yang berharga karena kecelakan kendaraan lagi."
"Tentu saja Ayah, aku janji."
"Terimakasih anakku." aku memeluk Jo sekali lagi, kali ini lebih erat, dan Jo membalas pelukan itu.
Halo, nama saya Septian Suryadi. Lahir dan besar di Jakarta. Saya suka menulis karena dengan menulis, saya merasa merdeka. Ingin kenal lebih lanjut? Silahkan follow saya di twitter @septiancina.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar