Pagi, bagiku pagi adalah waktu terbaik dalam kepingan waktu dalam sehari. Dimana pagi adalah waktu bagi kita untuk memulai lagi apa yang belum terjadi. Pagi, artinya satu hari yang melelahkan telah berlalu. Meninggalkan kenangan yang mungkin akan hilang, atau justru membekas entah sampai kapan. Pagi, artinya hari akan dimulai lagi.
Pagi ini, dengan semangat bertemu teman lama, aku bangkit dari kasur, melupakan mimpi yang tidak mengenakan yang akhir-akhir kembali menghantui. Sepotong mimpi tentang kisah itu. Kisah nyata yang tidak indah, begitupula di dalam kisah semu, dunia mimpi. Aku tidak ingin kenangan itu mengganggu hari ini. Sahabat lama yang sudah tidak bertemu, yang selama ini berada di luar negeri akhirnya pulang. Membawa gelar S2 Multimedia dari salah satu universitas ternama di Amerika.
Fahmi, dia temanku sejak masih duduk di bangku SD. Dia satu-satunya teman yang sampai saat ini masih bertahan. Sahabat terbaik yang pernah ada. Dia tahu segalanya tentangku. Tentang orang tuaku yang bercerai karena orang ketiga, tentang impian-impian aneh, tentang mimpi menjadi seorang pemilik gedung teringgi, dan tentunya tentang kisah-kisah itu. Dia tidak selalu ada, tapi dia selalu tahu jika temannya –aku- sedang memiliki masalah yang ingin diceritakan. Dia selalu bisa membaca raut gelisah yang tergurat di wajahku. Begitupula aku tahu segalanya tentangnya.
Setelah siap, aku memanaskan mesin mobil di garasi. Selagi memanaskan mesin mobil, aku pergi ke dapur menyiapkan sarapan untukku sendiri. Umurku 32 tahun saat ini. Usia yang seharusnya sudah mempunyai seseorang yang setiap pagi membuatkan sarapan, menyapa dengan senyuman, menyiapkan apa-apa saja yang harus dibawa ke kantor. Istri. Tapi untuk saat ini, pacar saja aku tidak punya.
Jam delapan. Itu artinya, 2 jam lagi Fahmi akan sampai ke Jakarta. Aku segera berangkat mengingat jalanan ibu kota selalu tidak ramah. Macet disana-sini, perjalanan yang normalnya bisa ditempuh 15 menit bisa jadi 30 menit. Benar saja dugaanku, baru keluar komplek, antrian mobil sudah padat merayap memenuhi jalan.
Dua jam tiga puluh tujuh menit berlalu melelahkan. Akhirnya aku sampai di bandara. Mencari-cari Fahmi yang mungkin sudah bosan menungguku yang ngaret. Setelah berputar-putar sebentar, akhirnya kami bertemu. Aku minta maaf karena dating terlambat. “Sudahlah kawan, tak selamanya kamu akan datang tepat waktu bukan? Kadang sesuatu terjadi tanpa bisa kita prediksi.” Aku tersenyum. Ya dia sangat hafal dengan kebiasaanku yang selalu datang tepat waktu. Karena buatku, waktu selalu berarti. Terutama waktu bersama Fahmi.
Matahari semakin terik, membuat macet semakin tidak menyenangkan. Dan kami memutuskan untuk istirahat sebentar di warung es kelapa. Memesan 2 gelas es kelapa tanpa kelapa –air kelapanya saja.
“Gimana perkembanganmu, Di?” Fahmi memecah hening.
“Perkembangan? Ah, ku berhasil meraih mimpi-mimpi itu, Mi. Luar biasa. Kini aku memiliki gedung tertinggi di Indonesia. Tempat yang sangat luar biasa untuk memandang langit. Senja ini kamu harus ikut ke gedung itu. Melihat indahnya saat-saat matahari tenggelam!” aku mulai cerita dengan semangat.
“Wah itu sangat bagus. Tapi sayangnya, bukan perkembangan itu yang aku maksud, Di.”
“Lalu?” aku mulai bingung.
“Emm, perkembangan tentang kisah cintamu itu loh. Apakah kamu sudah berani menyatakan perasaanmu ke Vera?”
Seketika jantung ini seolah berhenti sejenak saat Fahmi menyebut nama itu. Wanita itu, kisah cinta itu.
“Entahlah Mi, mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi. Bukankah kamu yang paling tau hal itu? Bahwa perasaan itu hanya akan menggangunya? Vera sudah menganggapku sebagai seorang kakak. Seseorang yang akan melindunginya, menjadi teman berbagi, memberi nasihat. Sejak awal aku tidak akan bisa memilikinya.”
“Andai kamu mengungkapkannya, kamu mungkin akan punya kesempatan itu Di, kesempatan untuk memilikinya. Sayangnya, kamu tidak berani membuat kesempatan itu. Kamu seakan pasrah saat Vera mengatakan hal itu. Menyerah untuk mengejar cintanya.”
“Bisakah kita tidak membahas hal ini, Mi?”
“Baiklah, bagaimana kalau kau antar aku ke gedungmu itu? Aku ingin merasakan sensasi melihat awan dari dekat, boleh?”
“Tentu saja kawan, mari kita berangkat.”
Sore ini, langit sangat indah. Seperti saat pertama kali aku menatapnya dari sini. Gedung tertinggi milikku. Bedanya, kali ini bersama Fahmi, dulu bersama Vera. Dan kalau boleh jujur, waktu menatap langit bersama Vera selalu istimewa. Langit selalu indah, seolah tahu kapan kami akan menatapnya dari dekat.
Matahari sudah meninggalkan langit sejak setengah jam yang lalu, dan aku masih berada disini, di gedung tertinggi. Fahmi? Dia sudah pamit pulang lima belas menit lalu. Dia sudah sangat mengerti bahwa aku membutuhkan waktu untuk sendiri saat ini, setelah percakapan yang mengembalikan kisah itu. Kenangan-kenangan itu.
Ya, aku memang tak pernah berani mengungkapkan perasaan itu. Perasaan yang muncul lima belas tahun lalu. Masa-masa SMA. Masa-masa yang katanya paling indah. Vera, dia adalah adik kelasku. Sejak melihatnya saat masa orientasi siswa, aku –dan siswa lain- sudah tertarik. Rambut hitam sebahu, mata cokelat, lesung pipi, kulit putih. Sejak mengetahui namanya, aku membuka jejaring social facebook yang sebenarnya sudah lama tidak aku buka, mencari akun facebook-nya, Sendy Vera Aksara yang baru di accept seminggu setelahnya, dan buru-buru aku chat sebelum dia offline.
Sejak saat itu, kami mulai dekat. Perasaan itu semakin lama semakin liar. Tumbuh dengan tidak wajar. Seperti tanaman yang diberi pupuk khusus yang bisa membuatnya tumbuh dengan sangat cepat. Kami sering menghabiskan weekend bersama, menonton film, nongkrong di café, menatap senja di taman, dan hal-hal menyenangkan lain. Hal itu terus berlanjut sampai aku lulus. Kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Terus seperti itu sampai aku bekerja, membawa mimpi-mimpi itu menjadi nyata. Hingga akhirnya 4 yang lalu mimpi itu terwujud di umurku yang baru 28. Gedung tertinggi itu. Saksi kisah pahit itu, kenangan yang selalu ingin aku lupakan.
Di atas gedung tertinggi itu, Vera mengungkapkan semuanya. Kata-kata yang meruntuhkan hatiku menjadi berkeping-keping. Menghancurkan harapan-harapan itu. Menghapus hari-hari indah itu. Di gedung tertinggi itu, dia mengungkapkan semuanya.
“Aku bahagia punya seseorang seperti kamu. Kamu selalu ada buat aku, ngejagain aku, bantu aku dalam banyak hal. Aku harap kamu akan terus seperti itu. Jangan pernah pergi ya. Kamu itu sosok yang selama ini aku cari, aku butuhkan. Sosok kakak yang sudah lama hilang dari hidupku. Aku gak mau kehilangan sosok itu sekali lagi.”
Aku hanya diam mendengar kalimat itu.
“Maukah kamu janji akan terus jadi sosok kakak yang seperti ini?”
Aku tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba hatiku seperti tersambar petir.
“Kak Adi? Kakak dengerin aku kan?”
“Iya, Ver. Aku akan selalu jadi kakak yang kamu inginkan. Akan sangat menyenangkan punya adik seperti kamu.” aku berusaha tersenyum, entah darimana kalimat itu muncul.
“Makasih ya, kak.”
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk melupakan perasaan itu. Melupakan kenangan-kenangan itu. Berharap saat pagi datang, kenangan itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi sayangnya, kenangan itu tak mau pergi. Meninggalkan sesak yang tak pernah hilang. Kini, Vera sudah menikah. Bahagia bersama orang yang dia cinta. Dia yang perlahan menghapus namaku di hari-hari Vera. Dua tahun Vera mengenal laki-laki itu dan aku terlupakan begitu saja. Dua tahun laki-laki itu setara dengan lima belas tahun milikku. Dan hingga saat ini, perasaan itu tak akan pernah tersampaikan. Tidak akan pernah bisa menembus dinding itu. Kakak, tak lebih dari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar